Penerapan 5G Membutuhkan Ekosistem End-to-End yang Didukung Semua Pihak Penerapan 5G Membutuhkan Ekosistem End-to-End yang Didukung Semua Pihak ~ Teknogav.com

Penerapan 5G Membutuhkan Ekosistem End-to-End yang Didukung Semua Pihak


Teknogav.com, Jakarta - ICT Institute menggelar seminar Indonesia 5G Ecosystems Conference di Hotel Sultan Jakarta pada Selasa, 10 Maret 2020. Tema seminar tersebut adalah "Spectrum and Regulatory challenges and Applied Opportunity for Its Ecosystems and Competitive Economy”. Seminar ini bertujuan untuk bertukar gagasan dan pengalaman sambil mencari kesempatan kerjasama dalam ekosistem 5G antar pemangku kepentingan di industri dengan memfasilitasi diskusi mengenai ekosistem 5G. Para pembicara seminar tersebut mencakup Bapak Ismail dari Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemkominfo dan Heru Sutadi, Ketua Ekosistem 5G Indonesia.

Seminar mengenai 5G tersebut membahas mengenai peluang bagi pembuat kebijakan untuk memberdayakan warga dan juga bisnis, serta kunci untuk mengubah kota menjadi kota yang pintar.  Teknologi 5G juga akan memberikan pengalaman pengguna yang lebih baik dan lebih kaya solusi dibandingkan teknologi sebelumnya, yaitu 4G, 3G dan 2G. Biaya pun lebih terjangkau, baik bagi pengguna layanan maupun penyedia layanan.

Teknologi 5G juga memberikan peluang untuk mengimplementasikan jaringan konvergensi berkabel. Pelaku teknologi dapat berperan untuk memberikan solusi dan secara simultan memberikan daya saing ekonomi untuk Indonesia yang maju dan sejahtera. 

Saat  ini ada 359 operator yang sudah berinvestasi di jaringan 5G di seluruh dunia. Para operator tersebut telah melakukan uji coba dan finalisasi bisnis. Sejumlah 80 operator telah membangun 5G 3GPP compliance. Kini sudah ada 63 operator di 35 negara yang sudah menerapkan teknologi 5G secara komersial.

Spektrum 5G di dunia saat ini makin banyak tersedia. Sekitar 40 negara telah menyelesaikan alokasi spektrum 5G sejak tahun 2015. Ada 54 negara yang telah mengumumkan rencana mereka, lengkap dengan time-line untuk mengalokasikan frekuensi 5G sampai tahun 2022. Tentunya hal ini akan menimbulkan pertanyaan, mengenai kesiapan Indonesia dalam menerapkan teknologi 5G. Pada tahun 2019, Indonesia sudah memiliki Palapa Ring yang akan menjadi backbone teknologi tersebut. 
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan teknologi 5G di Indonesia adalah bisnis, teknis dan legal. Dari segi teknis biasanya menyangkut standarisasi dan spektrum yang akan digunakan. Sementara dari sisi legal berkaitan dengan regulasi yang dibutuhkan, aturan standarnya, termasuk penetapan frekuensi dan biaya atau fee atas spektrum yang digunakan.

Ketika menerapkan teknologi 5G tidak hanya frekuensi yang perlu disiapkan, tetapi kesiapan ekosistem secara end-to-end. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan mencakup kebijakan strategis, infrastruktur 5G, kebijakan implementasi, dan ketersediaan spektrum frekuensi radio.

Kebijakan strategis yang dilakukan pun berkaitan dengan pilihan teknologi 5G, keekonomian dan geo strategis berkenaan dengan situasi global. Pemilihan teknologi tentunya harus yang paling siap diimplementasikan.  Penerapan teknologi tentunya akan memberikan manfaat bagi sektor ekonomi karena begitu banyak industri dapat memanfaatkan teknologi ini untuk meningkatkan produktivitas.

Bapak Ismail, Dirjen SDPPI Kemkominfo
"Produksi bisa berjalan dengan baik karena bisa menggunakan fungsi-fungsi robotik yang tadinya dilakukan manusia. Sebenarnya teknologi 4G sudah bisa melakukan hal tersebut, tetapi akan lebih banyak aplikasi yang bisa dilakukan dengan teknologi 5G. Beberapa industri besar seperti Mercy dan BMW akan menggunakan teknologi 5G untuk kebutuhan industri, bahkan sampai memantau pemanfaatan mobilnya. Misalnya ketika kita menggunakan kendaraan mereka, maka bisa dipantau ke mana saja mobil tersebut keliling. Selain itu teknologi bisa juga diterapkan pada mobil tanpa sopir," ucap Ismail.

Banyak sektor bisa menggunakan Internet of Things untuk memanfaatkan produktivitas, misalnya di pertanian dan peternakan. Pemantauan hewan ternak bisa dilakukan dengan Internet of Things, demikian juga pemantauan kebutuhan hewan-hewan ternak itu secara online. Sentuhan teknologi akan membuat produktif dan juga bisa digunakan untuk marketplace dari sektor pertanian dan peternakan, sehingga marketing tidak lagi sebatas lokal dan bisa memotong biaya.

Bapak Ismail juga mengungkapkan bahwa dalam mempersiapkan infrastruktur, perlu keterlibatan dari semua lapisan. Jadi dalam mempersiapkan infrastruktur sebenarnya sudah bisa dilakukan tanpa menunggu penetapan spektrum terlebih dahulu. Infrastruktur pun tak hanya dibutuhkan di Jakarta, tetapi seluruh pelosok agar bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Beliau menghimbau para operator untuk melakukan modernisasi dan persiapan infrastruktur, selain mempertanyakan isu spektrum frekuensi.

Infrastruktur 5G ini membutuhkan ketersediaan jaringan berkapasitas besar, infrastuktur pasif dan spektrum frekuensi radio. Jaringan berkapasitas besar membutuhkan banyak hal, mulai dari backbone, backhaul sampai ke jaringan akses. Sementara untuk infrastruktur pasif mencakup pole, tower, ducting, bangunan atau gedung dan lain-lain untuk small cell. Ketersediaan spektrum frekuensi radio mencakup berbagai rentang, yaitu low band, middle band sampai high band.

Beliau juga menjelaskan mengenai empat kunci pengembangan 5G di Indonesia, yaitu Time to market yang tepat, infrastructure sharing, model bisnis yang inovatif, kolaborasi dan perluasan. Menurutnya penerapan 5G tidak bisa terburu-buru hanya karena ingin lebih awal menerapkan 5G.

"Time to market yang tepat ini satu hal yang krusial, yaitu kapan Indonesia masuk dan komersial. Jika terlalu cepat banyak cost keluar untuk learning process dari teknologi itu hanya karena terburu-buru komersil. Jika teknologinya sendiri masih belajar, dan kitasudah melakukan implementasi komersial, akhirnya kita beberapa kali harus melakukan double investment karena terlalu cepat," ucap Ismail.

Jadi time to market harus tepat untuk menghindari market failure, baik dari segi suplai maupun permintaan. Infrastructure sharing yang mencakup network sharing juga menjadi kunci untuk mengurangi cost sampai sekitar 40% untuk jaringan akses. Ketika menerapkan jaringan, dibutuhkan juga kolaborasi antar perusahaan telekomunikasi. Bisnis yang dijalankan operator pun perlu diperluas, tidak hanya retail, tetapi juga B2B.

Ketika ditanya mengenai kesiapan spektrum 5G,  dari sisi pemerintah belum bisa memastikan waktu pastinya karena membutuhkan proses yang panjang dan keterlibatan semua pihak. Tidak semua proses menjadi kewenangan pemerintah, tetapi dari parlemen juga. Proses tersebut termasuk pengembalian alokasi pita frekuensi dan lelang ulang. Refarming perlu dilakukan, yaitu pemindahan dari pengguna lama untuk bisa dirilis untuk penggunaan 5G, hal ini sedang berjalan, salah satunya adalah analog switch off di broadcasting. Undang-undang penyiaran perlu ditetapkan terlebih dahulu, sehingga diperoleh pita frekuensi 700 Mhz yang sangat penting.

Bapak Ismail menekankan bahwa pemanfaatan teknologi 5G sendiri perlu disiapkan secara paralel oleh industri, masyarakat dan stakeholder lain, jadi persiapan tidak hanya dari pemerintah.

"Kolaborasi yang harus dilakukan antara swasta dan pemerintah adalah untuk membangun aplikasi-aplikasi atau use-case use-case yang khas Indonesia, karena Indonesia punya kekhasan sehingga pemanfaatannya agak berbeda dengan negara-negara lain. Seyogyanya pemanfaatan tersebut menggunakan aplikasi lokal, kami berharap walaupun infrastruktur belum dibuat, tetapi pembangunan aplikasi-aplikasi lokal ini harus dimulai sejak sekarang, karena dengan 4G dan Internet of Things sebenarnya aplikasi-aplikasi tersebut sudah bisa dimanfaatkan sekarang. Nanti dengan hadirnya 5G aplikasi tersebut akan lebih hebat lagi pemanfaatannya," paparnya.
Share:

Artikel Terkini