SabangMerauke dan Du'Anyam Bangun Indonesia dengan Berdayakan Facebook SabangMerauke dan Du'Anyam Bangun Indonesia dengan Berdayakan Facebook ~ Teknogav.com

SabangMerauke dan Du'Anyam Bangun Indonesia dengan Berdayakan Facebook


Teknogav.com - Perkembangan teknologi termasuk media sosial yang didukungnya seperti dua mata pisau, bisa jadi pemecah bangsa, bisa juga menjadi pemersatu. Demikian juga dengan Facebook dan layanan satu grupnya, yaitu WhatsApp dan Instagram. Seluruh layanan Facebook tersebut bisa menjadi ajang caci maki warga net, bisa juga dimanfaatkan membangun dan memupuk semangat toleransi. Ayu Kartika dengan SabangMerauke dan Hanna Keraf dengan Du’Anyam berusaha mempersatukan dan membangun bangsa melalui layanan-layanan Facebook.


SabangMerauke Mempersatukan Keberagaman dan Memupuk Toleransi

Ayu Kartika, SabangMerauke
Indonesia terdiri dari beragam suku dan agama. Sayangnya keberagaman ini kerap menjadi alasan untuk saling membenci atau takut atas sesuatu yang tidak diketahui. Rasa benci dan curiga tak hanya menghantui anak-anak, tetapi juga masyarakat dewasa saat ini.

Ayu Kartika mulai merasakan kesenjangan ini ketika ditugaskan menjadi guru Sekolah Dasar (SD) di Maluku Utara. Suatu daerah di timur Indonesia yang rawan konflik. Akibat pernah terjadi konflik atau kerusuhan antara masyarakat beragama Kristen dengan masyarakat pemeluk Islam, desa-desa di wilayah tersebut disekat-sekat berdasarkan agama. Solusi tersebut memang bisa meredam kerusuhan, tetapi tidak memecahkan akar masalah. Mereka yang hidup tersekat-sekat tidak saling mengenal dengan orang lain yang berbeda agama. Jadi ketika dipertemukan dengan yang berbeda, akan dipenuhi rasa curiga dan ketakutan.

SabangMerauke dibentuk Ayu pada tahun 2013 untuk membangun toleransi dan memperkenalkan bahwa orang yang berbeda suku dan agama tidak jahat. Hal ini dilakukan dengan menjalankan program pertukaran budaya antar wilayah demi memahami budaya dan kepercayaan yang berbeda. Salah satu contohnya adalah Apipa, seorang gadis cilik beragama Islam yang ditempatkan di keluarga keturunan Tionghoa beragama Kristen. Awalnya ada rasa takut melanda gadis cilik tersebut, tidak mau makan dan takut diajak ke gereja. Tetapi perlahan-lahan dengan kesabaran kedua orang tua yang menampungnya, Apipah pun luluh, terjadi keterikatan antara Apipa dan keluarga yang menampungnya.

Tak Apipa saja yang mengikuti program ini. SabangMerauke telah melakukan penempatan 20 pelajar Indonesia ke keluarga dengan budaya dan agama yang berbeda. Partisipan yang ditempatkan di wilayah yang jauh ini berusia 13-15 tahun, dengan harapan mereka bisa menjadi agen perubahan. Sekembalinya mereka ke wilayah masing-masing bisa menjelaskan bahwa perbedaan ras, suku dan agama tak lantas berarti jahat.

SabangMerauke tidak bergerak dari tim inti, ada ratusan relawan yang mengelola kegiatan ini. Semua kolaborasi dan koordinasi dilakukan secara digital menggunakan WhatsApp Group, baik itu untuk seleksi partisipan dan kurikulum. Bahkan relawan pun tak memiliki kantor khusus untuk mengerjakan SabangMerauke ini, semua dikerjakan secara virtual melalui media sosial yang dimiliki Facebook. Penggalangan donasi agar program ini terlaksana pun dilakukan secara online. Video dibuat berdasarkan program yang dilakukan, lalu disebarluaskan ke donor agar program tersebut dapat berkesinambungan. Penyebaran dilakukan melalui Facebook, WhatsApp dan Instagram.

Du’Anyam - Berdayakan Perempuan di Nusa Tenggara Timur

Hanna Keraf,  Co-founder dan Chief Community Officer Du'Anyam
Hanna Keraf mendirikan Du’Anyam bersama dengan Ayu dan Melia. Mereka adalah teman masa kecil yang berkunjung ke desa Watudiran di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2014. Desa tersebut berada di wilayah Sikka yang sebagian besar penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dan memiliki akses terbatas ke uang tunai. Padahal mereka membutuhkan layanan kesehatan yang harus dibayarkan secara tunai.

Keprihatinan mereka pada penduduk tersebut mendorong untuk mengembangkan keterampilan yang dimiliki oleh perempuan Nusa Tenggara Timur dari generasi ke generasi. Perempuan di wilayah tersebut biasanya dipersiapkan untuk menikah dengan menguasai keterampilan menenun, masak dan menganyam. Du’Anyam menyediakan pelatihan pada kualitas dan desain, lalu memastikan pemasaran langsung produk anyaman yang dibuat oleh penduduk.

Melia yang berperan sebagai direktur pemasaran bersusah payah melakukan pendekatan melalui email dan media sosial untuk memperkenalkan brand. Pada akhirnya klien pertama pun mau menerima, lokasinya di Bali. Promosi mengenai kebudayaan dan peningkatan kesehatan para penduduk di NTT pun terus digiatkan melalui Facebook dan Instagram. Keaslian produk menjadi hal yang penting, Du’Anyam mengajak siapa saja untuk melihat sendiri bahwa produksi anyaman benar-benar dilakukan di Solor dan dilakukan oleh mereka yang kurang mampu.

Kini Du’Anyam telah mempekerjakan 1.005 penganyam di 50 desa di Indonesia. Pendapatan penduduk pun meningkat 40%, sehingga mereka memiliki yang cukup untuk mendapatkan makanan bergizi, layanan kesehatan dan pendidikan. Kini Du’Anyam berkolaborasi juga dengan pembuat kebijakan, perusahaan dan jaringan hotel yang dapat terlaksana berkat penggunaan Facebook.

Direktorat Jenderal Imigrasi - Sosialisasi Kepada Publik

Muhamad Fijar Sulistyo, Direktorat Jenderal Imigrasi
Penggunaan aplikasi Facebook dan layanan lain di bawah naungan Facebook pertama kali digunakan pada tahun 2014. Saat itu awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menyarankan penggunaan media sosial di layanan publik.  Kemudian sejak tahun 2016, Dirjen Imigrasi pun mulai menggunakan iklan berbayar di akun Facebook dan Instagram. Instansi tersebut menyatakan bahwa dengan berhubungan langsung dengan masyarakat melalui aplikasi Facebook, maka awareness dan pengetahuan produk pun makin meningkat.

Banyak pertanyaan dari masyarakat melalui akun mereka. Dirjen Imigrasi pun mulai mengembangkan Frequently Asked Question (FAQ) yang memudahkan warga menemukan informasi dengan cepat.  Layanan lain pun dikembangkan untuk memudahkan masyarakat, salah satunya dalam pembuatan paspor. Jika dahulu masyarakat mesti mengantri dari pukul 3.00 pagi, kini mereka bisa menggunakan WhatsApp untuk mengambil antrian paspor.

“Antrian pun menjadi sepi karena jadwal jam pengurusan paspor pun sudah ditentukan saat pengambilan nomor antrian. Mereka cukup datang pada rentang waktu yang sesuai. Pengecekan status paspor pun dapat dicek melalui WhatsApp gateway yang otomatis akan dijawab oleh mesin, apakah paspor sudah diap diambil atau belum. Kini Dirjen Imigrasi juga sudah memiliki aplikasi Paspor Online, sosialisasi aplikasi tersebut dilakukan melalui Facebook, Instagram dan WhatsApp,” ucap Muhammad Fijar, Sulistiyo dari Direktorat Jenderal Imigrasi.

Ketiga kasus tersebut memberikan gambaran manfaat Facebook bagi komunitas yang ingin memajukan masyarakat dan membangun semangat toleransi. Demikian juga dengan instansi pemerintah yang lebih mudah mensosialisasikan layanannya. Semoga Dirjen Imigrasi mensosialisasikan juga mengenai tidak boleh melakukan diskriminasi paspor 24 halaman dan 48 halaman ya.
Share:

Artikel Terkini